Transisi Demografi dan Windows Opportunity
Transisi
Demografi dan Windows Opportunity
Transisi demografi adalah istilah yang mengacu
kepada transisi dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi rendah
karena ekonomi suatu negara atau wilayah berkembang dari ekonomi pra-industrial
menjadi ekonomi yang terindustrialisasi. Teori ini diusulkan pada tahun 1929
oleh ahli geografi Amerika Serikat Warren Thompson yang mengamati perubahan
tingkat kelahiran dan kematian masyarakat-masyarakat industri selama 200 tahun.
Sebagian besar negara maju telah melewati proses transisi demografi dan
memiliki tingkat kelahiran yang rendah, sementara sebagian besar negara
berkembang masih mengalami proses transisi ini. Beberapa pengecualian adalah
negara-negara miskin (terutama di Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah) yang
melarat dan terkena dampak kebijakan pemerintah atau huru hara, terutama di
Pakistan, Palestina, Yemen, dan Afganistan.
Model transisi demografi dapat digunakan untuk
memprediksi penurunan tingkat kelahiran apabila suatu masyarakat menjadi
semakin kaya; namun, beberapa data yang baru dikumpulkan tampaknya membantah
hal ini, karena tingkat kelahiran dapat kembali meningkat setelah tingkat
kemajuan tertentu telah tercapai. Selain itu, dalam jangka panjang, transisi
demografi akan dihentikan oleh tekanan evolusi yang menghasilkan tingkat
kelahiran dan kematian yang lebih tinggi.
Teori transisi demografi merupakan sebuah teori yang
didukung oleh banyak ahli dalam ilmu sosial karena adanya korelasi historis
yang kuat antara penurunan tingkat kesuburan dengan kemajuan sosial dan
ekonomi. Para ahli masih memperdebatkan apakah industrialisasi dan pendapatan
yang lebih tinggi mengakibatkan penurunan jumlah penduduk, atau apakah jumlah
penduduk yang lebih rendah mengarah ke industrialisasi dan pendapatan yang
lebih tinggi. Para ahli juga memperdebatkan sejauh mana faktor-faktor yang
terkait mempengaruhi transisi demografi ini, seperti pendapatan per kapita yang
tinggi, tingkat pendapatan perempuan yang tinggi, tingkat kematian yang rendah,
jaminan usia tua, dan bertambahnya permintaan sumber daya manusia.
Transisi ini terdiri
dari 5 tahap
·
Tahap pertama adalah tahap yang dilalui
oleh masyarakat pra-industri, ketika tingkat kelahiran dan kematian kurang
lebih seimbang. Semua populasi manusia berada dalam keseimbangan ini hingga
akhir abad ke-18, ketika keseimbangan di Eropa Barat mulai terganggu. Pada
tahap ini, tingkat pertumbuhan penduduk hanya kurang dari 0,05% paling tidak
semenjak Revolusi Pertanian sekitar 10.000 tahun yang lalu. Tingkat pertumbuhan
sendiri dibatasi oleh ketersediaan makanan; dalam kata lain, fluktuasi tingkat
kelahiran akan diseimbangkan oleh tingkat kematian, kecuali bila suatu
masyarakat mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan produksi pangan
(seperti penemuan sumber pangan yang baru atau teknologi yang menambah hasil
panen).
·
Tahap kedua adalah tahap yang dilalui
oleh negara berkembang: tingkat kematian menurun drastis berkat ketersediaan
sumber pangan dan penyediaan sanitasi yang lebih baik, sehingga harapan hidup
bertambah dan risiko penyakit berkurang. Tingkat kematian mulai menurun pada
akhir abad ke-18 di Eropa barat laut dan kemudian hal yang sama terjadi di
Eropa selatan dan timur dalam 100 tahun berikutnya.
·
Tahap ketiga: tingkat kelahiran menurun
berkat faktor-faktor kesuburan seperti ketersediaan kontrasepsi, peningkatan
gaji, urbanisasi, berkurangnya praktik pertanian subsisten, pendidikan dan
pemberdayaan perempuan, bertambahnya biaya investasi orang tua untuk anak-anak,
dan perubahan-perubahan sosial lainnya. Penurunan tingkat kelahiran di
negara-negara maju dimulai pada akhir abad ke-19 di Eropa utara. Walaupun
kontrasepsi berperan penting dalam mengurangi tingkat kelahiran, perlu dicatat
bahwa kontrasepsi belum tersedia secara luas pada abad ke-19 dan kemungkinan bukan
merupakan faktor yang penting pada masa itu. Tingkat kelahiran juga dapat turun
akibat perubahan nilai dan bukan hanya karena kontrasepsi.
·
Tahap keempat: tingkat kelahiran dan
kematian rendah. Tingkat kelahiran dapat menurun hingga mengakibatkan penurunan
jumlah penduduk, seperti yang terjadi di Jerman, Italia, dan Jepang. Hal ini
mengancam industri-industri yang bergantung kepada pertumbuhan penduduk. Selain
itu, penuaan generasi yang terlahir pada tahap kedua menjadi beban ekonomi bagi
populasi pekerja yang semakin menyusut. Tingkat kematian mungkin akan tetap
rendah atau sedikit bertambah akibat kemunculan penyakit yang dipicu oleh gaya
hidup dan kurangnya olahraga, seperti obesitas.
·
Beberapa ahli menambahkan "tahap
kelima" sebagai tahap ketika tingkat kelahiran berada di bawah tingkat
yang diperlukan untuk tetap mempertahankan jumlah penduduk suatu masyarakat.
Beberapa ahli lain mendefinisikan tahap kelima sebagai tahap peningkatan
kembali tingkat kesuburan.
Model ini merupakan sebuah generalisasi yang tidak
berlaku sama di semua negara. Beberapa negara seperti Tiongkok, Brasil, dan
Thailand telah melewati transisi demografi dengan sangat cepat berkat perubahan
ekonomi dan sosial. Beberapa negara (terutama negara-negara Afrika) tampaknya
terhenti di tahap kedua akibat pembangunan yang jalan di tempat dan dampak
HIV/AIDS.
Transisi demografi pada dasamya menunjukkan urutan
tahap-tahap perubahan dalam tingkat kelahiran dan kematian atau lazim disebut
angka fertilitas dan mortalitas. Teori transisi demografi yang dikenat sekarang
ini pertama kali dikemukakan Notestem pada tahun 1945 dalam tulisannya yang
berjudul "Population : The Long View". Teori transisi demografi ini
banyak didasarkan atas pengalaman dari negara-negara Eropa Barat. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh Stolnitz dan Caldwell. Untuk Indonesia teori ini
banyak diperkenalkan oleh almarhum Prof. Iskandar.
Transisi demografi berawal pada tingkat kematian
yang tinggi, berangsurangsur beralih pada tingkat yang lebih rendah. Transisi
demografi pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga tahap : Tahap pertama : Angka
kelahiran tinggi dan berada antara 40-50 perseribu setahun dan relatif stabil.
Bersamaan dengan itu angka kematian juga tinggi dan berfluktuasi antara 30-50
per seribu setahun. Angka kematian yang tinggi ini disebabkan baik oleh bencana
alam maupun akibat perbuatan manusia. Bencana alam dapat berupa bahaya
kelaparan akibat kegagalan panen atau datangnya wabah dan bencana buatan
manusia berupa peperangan atau kekacauan lain. Akibat angka kelahiran dan
kematian yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang merupakan selisih keduanya juga
rendah.
Tahap kedua : Tahap kedua transisi demografi adalah
tahap pertumbuhan penduduk yang cepat, karena angka kematian turun dengan
relatif cepat, sedang angka kelahiran turun dengan lam ban. Akibatnya terjadi
kesenjangan antara angka kelahiran dan kematian yang besar dan terjadilah
ledakan penduduk. Hal tersebut pemah dialami oleh Brasilia yang mempunyai angka
pertumbuhan penduduk 35 per seribu atau 3,5 persen, sehingga penduduk menjadi
dua kali lipat dalam waktu 20 tahun. Indonesia yang mengalami pertumbuhan
penduduk sekitar 2,3 persen dalam beberapa dasawarsa yang lalu tdah pula
mengalami pertumbuhan yagn cepat.
Tahap ketiga : Pada tahap ketiga transisi demografi
ditandai dengan angka kematian yang rendah di bawah 15 per seribu setahun
dengan ·angka kelahiran yang rendah pula eli bawah 20 dan berfluktuas.i dengan
angka kelahiran yang rendah dan angka kematian yagn rendah pertumbuhan penduduk
juga rendah. Pada dasarnya transisi demografi erat hubungannya dengan
perkembangan ekonomi. Tahap pertama transisi terjadi dalam masyarakat agraris
tradisional. Angka kelahiran tinggi secara alami tercermin dalam Total
Fertility Rate di atas 10, sebagaimana dialami dalam masyarakat yang masih
terbelakang pada masa ini. Angka tersebut stabil pada tingkat yang tinggi.
Sebaliknya angka kematian berfluktualisi sesuai dengan kondisi ekonomi. Jika
pertanian berhasil baik, makanan cukup angka kematian rendah dengan ca.tata.n
tidak ada bencana lain. Sebaliknya kegagalan panen dapat berakibat fatal,
dimana penduduk dalam waktu singkat menjadi separohnya.
Transisi Demografi di Indonesia
Sejak awal tahun 1980, Indonesia mengalami transisi
demografi yang ditandai dengan penurunan angka kematian dan angka kelahiran
sebagai konsekuensi dari peningkatan kesejahteraan dari pembangunan ekonomi.
Para ahli demografi berpendapat bahwa transisi demografi di Indonesia terjadi
dalam tempo yang lebih cepat dibandingkan pengalaman negara maju. Penurunan angka
kematian dan fertilitas yang hampir simultan, terjadi dalam periode yang
relatif singkat, yaitu 30 tahun. Pembangunan infrastruktur kesehatan serta
penerapan program KB sejak akhir tahun 1970-an dianggap berkontribusi
signifikan pada berkurangnya jumlah kelahiran dan kematian di Indonesia.
Proses transisi demografi di Indonesia telah sampai
pada tahapan dimana angka kematian dan kelahiran telah rendah dan menurunkan
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) hingga di bawah 1%. Tren menunjukkan bahwa LPP
menurun dari 1,49% pada periode 2000-2010 menjadi 1,38% tahun 2010-2015 (1).
Berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk berdasarkan SUPAS 2015, LPP diperkirakan
akan terus menurun menjadi 0,93% pada tahun 2020-2025 . Meskipun LPP melambat,
jumlah penduduk Indonesia secara absolut masih sangat besar. Hasil Proyeksi
Penduduk berdasarkan hasil SUPAS 2015 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia mencapai 296,6 juta dan 298 juta antara tahun 2020-2024.
Selain LPP yang melambat, transisi demografi juga
mengubah struktur umur penduduk Indonesia. Indonesia mengalami perubahan dari
penduduk yang didominasi usia anak (0-14) ke usia kerja (15-64 tahun) sejak
tahun 1971-2010. Pertumbuhan penduduk usia 0-14 tahun diproyeksikan akan
melambat antara tahun 2015-2024 namun jumlahnya tidak banyak mengalami
perubahan yaitu sekitar 66 juta dan 65,7 juta antara tahun 2020-2024.
Perlambatan tersebut terjadi karena penurunan jumlah penduduk usia 0-4 tahun
sebesar 0,43% pada periode yang sama. Sementara itu penduduk usia 5-14 tahun
masih akan meningkat karena angka kelahiran pada tahun 2010-2015 yang masih
relatif tinggi dibandingkan 2020-2024.
Selanjutnya, jumlah penduduk usia kerja
diproyeksikan akan terus meningkat sebesar 6% antara tahun 2015-2020. Laju
pertumbuhan penduduk kelompok ini akan melambat antara tahun 2020-2024, yaitu
sebesar 0,92% per tahun. Dengan masuknya kelompok baby boomer kelahiran tahun
1960-1970-an ke masa pensiun, maka jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas akan
meningkat dengan LPP sekitar 5% per tahun. Pada tahun 2024, Indonesia akan
memiliki 21,8 juta penduduk lansia atau sekitar 7,8% dari total penduduk
Indonesia. Perubahan LPP serta struktur umur penduduk tersebut merupakan hasil
dari transisi fertilitas dan mortalitas yang terjadi sejak awal tahun 1970-an.
Transisi demografi yang terjadi di Indonesia sudah
berdasarkan tahapan teori transisi demografi. Hanya saja ada tahap tertentu
yang mengalami perbedaan dalam proses pertumbuhan penduduk, sehingga dapat
dikatakan jika Indonesia termasuk negara yang mengalami proses transisi
demografi yang berbeda. Perbedaan tersebut dilihat dari proses penurunan angka
kelahiran sebelum akhirnya memasuki negara industrialisasi. Ada beberapa faktor
yang menghalangi Indonesia untuk dapat menyelesaikan transisi demografinya
antara lain:
- Pembangunan
tidak merata. Masih ada beberapa daerah tertinggal dan jauh dari kemajuan
teknologi seperti yang ada di kota – kota besar.
- Pendidikan
di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan.
- Indonesia
adalah negara agraris. Masih cukup sulit Indonesia berubah menjadi negara
industri sebab beberapa daerah masih ditemukan masyarakat bermata
pencaharian sebagai petani.
Windows Opportunity
Window of Opportunity atau
jendela kesempatan adalah kondisi dimana jumlah penduduk yang berusia produktif
(15-64 tahun) meningkat sedangkan jumlah usia yang tidak produktif (0-14 tahun
dan 64+) menurun. Atau titik perubahan rasio ketergantungan dari menurun dan
berbalik menjadi meningkat lagi (merupakan titik terendah rasio
ketergantungan). Setelah mencapai titik terendah, angka ketergantungan
dikontribusikan lebih banyak oleh penduduk usia tua.
Windows Opportunity di Indonesia
Window of opportunity akan
didapatkan Indonesia pada tahun 2020-2030 dengan asumsi TFR (Total Fertility
Rate - rata-rata jumlah anak dari setiap wanita selama hidupnya)
Indonesia mencapai 2.01 hingga 1.8 per wanita pada tahun 2020 dan dependency
ratio sebesar 44%.1 Lalu sebenarnya apa peluang dan tantangan yang
Indonesia dapatkan dengan window of opportunity tersebut?
Dalam window of opportunity, Indonesia
akan memiliki jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Penyebabnya adalah
angka kematian yang rendah dan angka kelahiran yang baru mengalami penurunan
dari angka yang tinggi. Selain itu, ibu rumah tangga, yang sebelumnya tidak
masuk ke dalam angkatan kerja, bisa masuk ke dalam angkatan kerja karena jumah
anak yang menurun. Dengan jumlah tenaga kerja yang tinggi dan dependency
ratio yang ada pada titik terendah, kesejahteraan masyarakat Indonesia
bisa meningkat.
Output Indonesia juga bisa meningkat karena adanya
jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Oleh karena itu, window of
opportunity merupakan sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bertepatan dengan bulan Mei yang merupakan Bulan Sensus Penduduk Indonesia, topik
mengenai window of opportunity mulai hangat diperbincangkan
oleh masyarakat. Window of opportunity adalah keadaan dimana
tingkat dependency ratio berada pada titik terendahnya,
sedangkan dependency ratio adalah rasio perbandingan antara
jumlah penduduk usia tidak produktif (0-15 tahun dan 65+ tahun) dengan jumlah
penduduk usia produktif (16-64 tahun). Jadi, dalam keadaan window of
opportunity, beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap penduduk
usia tidak produktif berada pada jumlah terkecilnya.
Window of opportunity akan
didapatkan Indonesia pada tahun 2020-2030 dengan asumsi TFR (Total Fertility
Rate - rata-rata jumlah anak dari setiap wanita selama hidupnya)
Indonesia mencapai 2.01 hingga 1.8 per wanita pada tahun 2020 dan dependency
ratio sebesar 44%.1 Lalu sebenarnya apa peluang dan tantangan yang
Indonesia dapatkan dengan window of opportunity tersebut?
Dalam window of opportunity, Indonesia
akan memiliki jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Penyebabnya adalah
angka kematian yang rendah dan angka kelahiran yang baru mengalami penurunan
dari angka yang tinggi. Selain itu, ibu rumah tangga, yang sebelumnya tidak
masuk ke dalam angkatan kerja, bisa masuk ke dalam angkatan kerja karena jumah
anak yang menurun. Dengan jumlah tenaga kerja yang tinggi dan dependency
ratio yang ada pada titik terendah, kesejahteraan masyarakat Indonesia
bisa meningkat.
Output Indonesia juga bisa meningkat karena adanya
jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Oleh karena itu, window of
opportunity merupakan sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Window of opportunity memberikan
jumlah tanggungan terkecil bagi setiap penduduk usia produktif. Selain itu,
jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga pun berkurang. Dengan begitu, jumlah
tabungan masyarakat akan bertambah. Jumlah tabungan yang bertambah bisa
digunakan sebagai tambahan investasi sehingga akumulasi modal akan lebih cepat
dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.
Untuk mendapatkan berbagai peluang window of
opportunity di atas, Indonesia menghadapi bermacam tantangan.
Tantangan dimulai dari kesadaran masyarakat yang rendah terhadap KB (Keluarga
Berencana). Dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai KB
termasuk alat kontrasepsi, angka kelahiran sulit untuk diturunkan
sehingga dependency ratio pun tidak akan berada pada titik
terendahnya.
Sektor pendidikan juga merupakan tantangan yang
harus dibenahi oleh Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan, belum meratanya
fasilitas pendidikan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan
guru adalah sebagian masalah pendidikan yang dimiliki Indonesia dan harus bisa
segera diatasi untuk mewujudkan window of opportunity. Pendidikan
pun tidak hanya difokuskan yang bersifat formal, tetapi juga yang bersifat
kejuruan. Dengan begitu, daya saing tenaga kerja Indonesia yang rendah pun juga
bisa ditingkatkan.
Selain sektor pendidikan, tantangan berikutnya
adalah sektor kesehatan. Indonesia harus memperbaiki pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sehingga angka kematian rendah dan tenaga kerja bisa lebih produktif
dalam bekerja. Lebih lanjut lagi, buruknya sarana infrastruktur dan buruknya
sistem birokrasi di Indonesia juga menjadi tantangan dalam mewujudkan window
of opportunity.
Selain berbagai tantangan dalam mewujudkannya, Indonesia
juga akan mendapatkan tantangan apabila window of opportunity tersebut
bisa terwujud. Indonesia harus mengakomodasi tingginya jumlah tenaga
kerja yang ada dengan jumlah lapangan kerja yang memadai. Apabila hal tersebut
tidak bisa dilakukan oleh Indonesia, pengangguran akan meningkat. Ditambah lagi
dengan pemberlakuan free movement of labor ACFTA tahun
2015, tenaga kerja Indonesia setidaknya harus menyamai kapabilitas
dan skill dari tenaga kerja asing lainnya. Jika tenaga kerja
Indonesia tidak bisa kompetitif, pengangguran Indonesia pun akan semakin
bertambah. Angka pengangguran yang tinggi akan berdampak bukan hanya dalam
bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang sosial, seperti angka kriminalitas
yang tinggi.
Window of opportunity hanya
datang satu kali pada setiap negara. Oleh karena itu, hal tersebut harus bisa
dimanfaatkan baik oleh Indonesia. Berbagai usaha bisa dilakukan untuk mengatasi
berbagai tantangan yang ada, diantaranya dengan menggalakkan kembali program KB
(Keluarga Berencana) kepada setiap keluarga. Dengan otonomi daerah yang ada
seperti sekarang, program KB menjadi kurang digalakkan oleh setiap pimpinan
daerah. Bertepatan dengan sensus penduduk pada Bulan Mei ini, pemerintah
sebenarnya bisa juga menyelipkan program sosialisasi program KB pada setiap
keluarga yang didatangi.
Membangun industri yang padat karya juga bisa
dilakukan sebagai usaha mamanfaatkan window of opportunity.
Contohnya adalah industri kreatif, pariwisata, agrikultur, dan manufaktur.
Selain itu, perlunya perbaikan (reformasi) dalam sistem birokrasi Indonesia
sehingga izin pendirian usaha tidak lagi dipersulit. Perbaikan sarana
infrastruktur juga salah satu hal yang harus dilakukan untuk mendukung dam
mempermudah kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, perlu adanya
optimalisasi tenaga kerja yang memiliki jiwa wirausaha dengan tidak
dipersulitnya proses pemberian modal usaha. Dengan begitu, mereka bisa
menciptakan usaha yang menyerap tenaga kerja.
Sektor-sektor lain yang harus dibenahi oleh
Indonesia adalah kesehatan dan pendidikan. Pendirian Posyandu untuk menekan
angka kematian bayi, pendirian Puskesmas untuk pemerataan pelayanan kesehatan,
asuransi kesehatan kepada masyarakat, dan pengaplikasian teknologi dalam bidang
kesehatan adalah beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan
datangnya window of opportunity. Dalam sektor pendidikan, perbaikan
diperlukan baik dari sisi biaya, kualitas, dan pemerataan. Pembenahan dalam
sektor pendidikan akan mendorong daya saing tenaga kerja Indonesia menjadi lebih
kompetitif.
Perlu ditekankan bahwa window of opportunity hanya
akan datang sekali dan tidak akan terulang pada setiap negara. Kisah sukses
telah ditorehkan China dalam memanfaatkan window of opportunity-nya
dimana China menjadi salah satu negara berpengaruh terhadap dunia. Dengan
berbagai peluang besar yang bisa didapatkan, Indonesia harus bisa menghadapi
tantangan-tantangan window of opportunity melalui bermacam
usaha di atas. Teramat disayangkan apabila kesempatan emas ini tidak diacuhkan
oleh Indonesia.
Daftar Pustaka
https://www.bappenas.go.id/files/8515/9339/1872/FA_Preview_HSR_Book01.pdf
https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/transisi-demografi
Komentar
Posting Komentar